Jumat, 15 Agustus 2014

Biografi kelas X-IPS



1.       Atmosfer


JAKARTA, SELASA - Siklus karbon dioksida di Bumi diatur mekanisme alami sehingga kadarnya di atmosfer stabil pada kisaran tertentu. Namun, keseimbangan ini goyah sejak manusia memuntahkan gas rumah kaca begitu banyak ke udara.

Sebagaimana dilaporkan dalam Jurnal Nature Geoscience edisi terbaru, para peneliti telah menemukan bukti-bukti yang menguatkan teori untuk menjelaskan mekanisme siklus karbon dioksida di alam. Teori yang telah lama diyakini ini menggambarkan bahwa karbon yang disemburkan gunung-gunung api akan tersimpan ke darat dalam proses pelapukan batuan sebelum akhirnya tersimpan di dasar laut.

"Banyak orang yang mencoba menolak hipotesis ini, namun penelitian kami untuk pertama kalinya memberikan bukti-bukti yang mendukung hal tersebut," ujar Richard Zeebe, dari Universitas Hawaii, di Honolulu, AS. Bukti-bukti tersebut tergambar dari kadar CO2 pada lapisan es yang terjaga hingga kedalaman 3 kilometer di bawah kawasan Antartika yang disebut Dome Concordia atau Dome C.   

Dari analisis terhadap lapisan-lapisan es hasil pengeboran Epica (European Project for Ice Coring in Antartika) itu, para peneliti menyimpulkan bahwa selama 610.000 tahun, kenaikan kadar karbon dioksida di atmosfer hanya sekitar 22 ppm (bagian permil) meski sempat naik tinggi saat peralihan dari fase glasial (zaman es) ke interglasial. Namun, selama dua abad sejak revolusi industri, kandungannya meningkat menjadi 100 ppm atau 14.000 kali lebih cepat.

"Sungguh mengejutkan begitu seimbangnya antara input karbon dari gunung dan output dari pelapukan batuan. Hal ini menunjukkan adanya sebuah termostat alami yang membantu kestablikan iklim," ujar Zeebe. Sebagai gambaran, dalam sebuah mobil, termostat berfungsi mengatur aliran air untuk menjaga suhu mesin tetap stabil.

Jika mekanisme tersebut tidak terjadi, Bumi mungkin tidak seperti ini. Sistem termostat karbon alami merupakan faktor utama yang mengatur pasokan air untuk mendukung kehidupan di Bumi. Saat ini kita telah membuat sistem tersebut di luar keseimbangan. Pantas kalau sering disebut-sebut bahwa Bumi sedang demam. Apakah ini juga tanda-tanda Bumi juga akan terserang batuk?

2.       Pedosfer

NGANJUK, KOMPAS.com - Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menyesalkan adanya aksi penjarahan gua “kristal” yang terletak di Desa Sambikerep Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, yang baru ditemukan warga sekitar satu pekan.
“Kami temukan ada sekitar 5-10 persen batu stalaktit dan stalakmit rusak terbelah seperti bekas dijarah,” kata Kepala Bidang Perindustrian Pertambangan dan Energi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Pertambangan dan Energi (Disperidagkoptamben) Kabupaten Nganjuk, Selasa (4/10/2011).
Menurut dia, kondisi gua itu masih sangat alami. Terlebih lagi, hiasan di dinding, berupa stalaktit dan stalakmit juga masih hidup. Bahkan, diprediksi akan terus tumbuh. “Kami sudah lakukan pemeriksaan. Stalaktit dan stalakmit di gua itu terdapat lapisan air, hingga kami prediksi akan terus berkembang,”  ucapnya.
Pihaknya juga sudah melaporkan temuan gua yang di dalamnya ditemukan ada stalaktit dan stalakmit serta batu alam kristal ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur
.
3.       Hidrosfer

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebagian besar ekosistem danau di Indonesia dalam kondisi kritis. Hal itu disebabkan faktor manusia dan diperparah pemanasan global serta perubahan iklim.

”Karena sumber daya alam ini tumpuan utama kehidupan masyarakat, masalah ini perlu penanganan segera,” kata peneliti limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gadis Sri Haryani, Sabtu (15/6/2013). Ia berorasi pada pengukuhannya sebagai profesor riset oleh Majelis Pengukuhan Profesor Riset LIPI.

Kerusakan lingkungan danau bersumber pada eksploitasi perikanan, mekanisasi transportasi air, buangan limbah, dan perubahan tata ruang di daerah aliran sungai. Dampaknya, antara lain menurunnya produksi perikanan, tumbuhnya gulma, pencemaran, dan pendangkalan.

Kasus ini antara lain terjadi di Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Sedimentasi luas membuat kapasitas danau ini menyusut.

Perubahan iklim

Fungsi danau tak hanya sebagai cadangan air tawar, tetapi juga pengatur iklim mikro. Perubahan iklim global mengubah karakteristik fisik, biologi, dan kimiawi, serta tipe genesa danau.

Kenaikan suhu udara memanjangkan durasi musim kemarau atau musim hujan menyingkat. Perubahan volume air danau berfluktuasi, yang mengakibatkan surut dan banjir semakin parah.

Hujan lebat yang sering juga meningkatkan aliran air masuk ke danau, menyebabkan terbawanya kontaminan dan sedimen hingga mendegradasi kualitas air danau: meningkatkan pencucian nutrien dan fitoplankton yang menurunkan produktivitas alga.

Pada saat air yang lebih hangat berasosiasi dengan nutrien yang berlebihan dari pupuk pertanian, terjadilah eutrofikasi dan ledakan pertumbuhan plankton di permukaan danau. Organisme lain pada ekosistem danau terancam.

Perubahan iklim berdampak kualitatif pada komposisi dan diversitas hayati danau. Perubahan di danau memengaruhi komposisi spesies komunitas makrofita di zona litoral, seperti burung, ikan, dan biota lain.

Banyak spesies ikan sensitif perubahan suhu walau kecil. Kebiasaan migrasi beberapa jenis ikan terpengaruh. Terganggunya proses migrasi membuat spesies ikan migrasi terancam punah.

Dampak perubahan iklim pada danau dianalisa di dua tipe danau: Danau Maninjau, Sumatera Barat, danau vulkanotektonik dan Danau Semayang dan Melintang, Kalimantan Timur, danau tipe paparan banjir.

Menurut Gadis, praktik pemanfaatan danau yang tak memperhatikan keberlanjutan ekologi harus dihentikan. ”Pendekatan harus interdisiplin,” kata dia.

Sebelumnya, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono mengungkapkan, ini waktunya penyelamatan danau. Ada 15 danau prioritas. (YUN)


4.      Litosfer

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta atau BPPTK Yogyakarta mencatat, kenaikan frekuensi gempa multifase merupakan indikasi pertumbuhan kubah lava di puncak Gunung Merapi.
Sampai Jumat (22/10/2010) siang, data di beberapa pos pengamatan, termasuk di Pos Pengamatan Kaliurang, menunjukkan telah terjadi guguran sebanyak 15 kali, gempa multifase 154 kali, dan gempa vulkanik sebanyak 14 kali.
Sementara itu, sepanjang Rabu (20/10/2010) terjadi peningkatan gempa multifase hingga 479 kali dalam sehari. Kepala BPPTK Yogyakarta Dr Subandriyo menjelaskan bahwa pada hari Kamis tercatat gempa vulkanik tujuh kali, gempa multifase 69 kali, dan guguran lava sebanyak 32 kali.
Sebagai perbandingan lain, pada Senin (18/10/2010), gempa multifase Merapi hanya 201 kali dalam sehari. Indikasi lain yang menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik gunung itu adalah gempa vulkanik dari 23 kali menjadi 39 kali pada hari Rabu.
Pada hari Selasa, 19 Oktober 2010, gempa vulkanik tercatat tiga kali. Gempa vulkanik dangkal juga melesat dari 14 kali pada hari Rabu atau naik drastis jadi 28 kali pada hari Kamis. "Peningkatan ini menjadi indikasi, Merapi menuju fase letusan atau erupsi," kata Subandriyo yang dihubungi melalui telepon pada Jumat siang.
Meski belum bisa diperkirakan ke mana arah letusan, tingginya frekuensi gempa vulkanik ini menunjukkan energi dari perut gunung sangat besar. Subandriyo memperkirakan, jarak magma yang bergerak saat ini sekitar 1.000 meter dari puncak. Namun, Subandriyo menegaskan belum tentu erupsi Merapi kali ini akan besar. (Tribun Jogja/Setya Krisna Sumargo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar