Wakalah termasuk salah satu muamalah yang diperbolehkan untuk
dilakukan umat islam? Bagaimankah wakalah menurut hukum islam?
Ikuti pembahasannya berikut ini.
Pengertian
dan Hukum Wakalah
Wakalah menurut bahasa berarti
penyerahan, pendelegasian, atau pemberian madat. Wakalah menurut istilah para
ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.
Malikiyyah berpendapat bahwa wakalah
adalah :
اَنْ
يَنِيْب (يُضِيْم) شَخْصٌ غَيْرَه فىِ حَقّ لَهُ يَتَصَرَّ فِيهِ
Artinya:
Seseoarang menggantikan (menepati)
tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
Hanafiyyah berpendapat bahwa wakalah
adalah :
اَنْ
يُضِيمَ شَخْصٌ غَيْرَهُ مَقَامَ نَضْسِهِ فِى تَصَرَّ قٍ
Artinya:
Seseorang menempati diri orang lain
dalam tasarruf (pengelolaan).
Iman Taqy ad-Din Abi Bakar Ibn
Muhammad al-husaini bahwa wakalah adalah
تَفْوِيْضُ
ماَلَهُ فِعْلُهُ مِمَاّ يَقْبَلُ النّيَابَةَ اِلُى غَيْرِهِ لِيَحْفَظَهُ فىِ
حَالِ حَيَا تَهِ
Artinya:
Seorang yang menyerahkan harta untuk
dikelolanya yang ada penggantinya kepada yang lain supaya menjaganya ketika
hidupnya.
- Idris Ahmad berpendapat bahwa wakalah adalah seseorang yang menyerahkan suatu urusan kepada orang lain yang dibolehkan oleh syarak, supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus dilakukan.dan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.
Dan beberapa defenisi diatas, dapat
di ambil kesimpulan bahwa wakalah adalah menyerah diri seseorang
kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Perwakilan berlaku selama yang
mewakilkan masih hidup. Adapun dijadikan dasar hukum wakalah adalah firman
Allah swt. Dan sunnah Rasulullah saw.
a. Firman
Allah swt
فَٱبْعَثُوا۟
حَكَمًۭا مِّنْ أَهْلِهِۦ وَحَكَمًۭا مِّنْ أَهْلِهَآ
Artinya :
Maka kirimlah seorang hakam[293]
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
b. Sunnah
Rasulullah saw.
اَنْ
خَابِرٍرَضِيَ ا للهُ عَنْهُ قاَلَ أَرَدْتُ اخُرُوْجَ إِلَى خَيْبَرَ فَاَتَيْتُ
النّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَ اِذَا أَتَيْتَ وكِيْلىِ
بِخَيْبَرَ فَخُذُ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَوَسْقًا
Artinya:
Dari Jabir r.a berkata: aku keluar
pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah saw.maka beliau bersabda,
“apabila engkau datang pada wakilku di Khaibar maka ambillah darinya 15 wasaq.
“(H.R. Abu Daud: 3148)
Rukun Wakalah
Agar perwakilan itu dapat
dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan syarak, mereka yang
berwakalah harus mengikuti rukun sebagai berikut:
- Ada yang mewakilkan dan wakil. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan dalam tindakan-tindakan yang bermanfaat, seperti prwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat.
- Ada suatu yang diwakilkan.
Syarat-syarat sesuatu yang
diwakilkan adalah sebagai berikut.
1)
Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk
mengerjakannya. Tidak sah mewkilkan Sesuatu, seperti shalat, puasa, dan membaca
ayat al-Qur’an.
2)
Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil. Oleh karena itu, batal
mewakilkan sesuatu yang akan di beli.
3) Di
ketahui dengan jelas. Batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti
seseorang berkata : “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk menikahkan salah
seorang anakku.”
4) Ada
lafal yang menunjukkan rida yang mewakilkan dan wakil menerimanya.
Contoh: orang yang mewakilkan itu
berkata, “saya wakilkan atau saya serahkan kepada engkau untuk mengerjakan
pekerjaan ini.” Pertanyaan ini tidak membutuhkan Kabul dari pihak yang
diwakilkan. Orang yang mewakili tidak boleh mewakilkan kepada orang lain tanpa
seizin dari pihak yang pertama mewakilkan.
Syarat-syarat
Wakalah
Terselenggaranya wakalah sah apabila
memeenuhi persyaratan berikut.
- Orang yang mewakilkan adalah orang yang sah menurut hukum.
- Pekerjaan yang diwakilkan harus jelas. Tidak boleh mewakilkan pekerjaan kepada orang lain yang tidak jelas.
- Tidak boleh mewakilkan dalam hal ibadah karena ibadah menuntut dikerjakan secara badaniyyah dan dilakukan sendiri (seperti shalat, puasa, dan membca ayat al-Qur’an).
Hal-hal yang boleh di wakilkan
Berapa perbuatan yang boleh
diwakilkan yaitu ibadah haji, membeli binatang kurban, membagi zakat, dan
perniagaan (jual beli).
Berakhirnya Akad Wakalah
Akad wakalah akan berakhir apabila
terdapat hal-hal berikut.
- Salah seorang yang berakad gila. Syarat sah akad salah satunya orang yang berakad berakal.
- Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud.
- Salah seorang dari yang berakad meninggalkan karna salah satu syarat sah akad adalah orang yang berakad masih hidup.
- Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil, sekalipun wakil belum mengetahui (pendapat syafi’I dan Hambali).
- Wakil memutuskan sendiri.
- Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan.
Hikmah
Wakalah
Hikmah yang diperoleh dari wakalah
antara lain sebagai berikut.
- Mengajarkan prinsip tolong menolong antara satu dengan yang lainnya untuk tujuan kebaikan, bukan untuk kejahatan atau kemaksiatan.
- Mengajarkan kepada manusia untuk merenungi bahwa hidup ini tidak sempurna. Dalam memenuhi kebutuhannya, tidak semua pekerjaan dapat dilakukan atau diselesaikan sendiri. Oleh sebab itu manusia perlu mewakilkan kepada orang lain.
- Memberikan kesempatan bagi orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga mengurngi pengangguran.
Sulhu adalah kata yang berasal dari kosakata bahasa arab yaitu as-sulhu
berarti memutus pertengkaran, perselisihan, atau perdamaian. Sulhu dalam
perspektif Hasbi Ash-Shiddiqie sebagaimana dalam bukunya menjelaskan :
عقد
يتقق فيه المتنازعان فى حق على ما يرتفع به النزاع
Rukun
Sulhu
- Musalih : orang yang melakukan akad perdamaian
- Musalih ‘anhu : persoalan yang disengketakan.
- Musalih ‘alaih : hal yang dilakukan salah satu pihak kepada lawannya untuk memutus perselisihan.
- Shigat ijab qabul dua belah pihak yang melakukan perdamaian.
Syarat
Sulhu
Syarat perdamaian atau sulhu
dapat dikategorisasikan menjadi dua hal yaitu suyek sulhu dan obyek sulhu.
Subyek sulhu atau orang yang
mengadakan perjanjian damai harus orang yang cakap serta memiliki kemampuan
untuk melepaskan haknya atas hal yang menjadi bagian dalam perdamaian. Dalam
arti bahwa seorang yang terlibat dalam perjanjian damai (sulhu) memahami dengan
baik tujuan damai serta memiliki kewenangan jika harus menyerahkan beberapa
kewenangan jika hal itu diharuskan dalam upaya penyelesaian sengketa.
Obyek Sulhu, memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
- Berbentuk harta, dalam hal ini harta yang dapat berwujud ataupun tidak sepanjang dapat dinilai, diserahterimakan dan dimanfaatkan.
- Jelas dan tidak menimbulkan kesamaran.
Hukum
Sulhu
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا
عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٩)
Artinya : dan kalau ada dua golongan
dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
Berlaku adil.
Dalam Surah An-Nisa :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ
تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (١٢٨)
Artinya : Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak
mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Demikian tulisan mengenai
Pengertian, Rukun, Syarat, Macam dan Hukum Sulhu, semoga bermanfaat
Daman berarti menjamin atau menanggung seseorang untuk membayar
hutangnya dengan cara mengadakan barang, atau menghadirkan orang tersebut pada
tempat yang telah ditentukan.
Daman mengandung tiga permasalahan, yaitu:
1. Jaminan atas utang seseorang. Misalnya A menjamin utang B kepada C, maka C boleh menagih piutangnya kepada A atau kepada B.
2. Jaminan dalam pengadaan barang. Misalnya A menjamin mengembalikan barang yang dipinjam oleh B dari C. Apabila B tidak mengembalikan barang itu kepada C, maka A wajib mengembalikannya kepada C.
3. Jaminan dalam menghadirkan seseorang di tempat tertentu, misalnya A menjamin menghadirkan B yang sedang dalam perkara ke muka pengadilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Daman mengandung tiga permasalahan, yaitu:
1. Jaminan atas utang seseorang. Misalnya A menjamin utang B kepada C, maka C boleh menagih piutangnya kepada A atau kepada B.
2. Jaminan dalam pengadaan barang. Misalnya A menjamin mengembalikan barang yang dipinjam oleh B dari C. Apabila B tidak mengembalikan barang itu kepada C, maka A wajib mengembalikannya kepada C.
3. Jaminan dalam menghadirkan seseorang di tempat tertentu, misalnya A menjamin menghadirkan B yang sedang dalam perkara ke muka pengadilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Daman dapat diterapkan dalam masalah
jual beli (bai’), pinjam-meminjam (ariah), titipan (al-wadiah), jaminan
(ra’in), kerja patungan atau qirad (mudarabah), barang temuan (luqatah),
peradilan (qada), qisash (pembunuhan), gasab, pencurian (sariqah), dan
lain-Iain.
Dasar kebolehan daman :
Fairman Allah SWT dalam Al-Qur’an
Surah Yusuf ayat 72 :
Artinya : Para pembantu raja
menjawab, “Kami sedang mencari bejana tempat minum raja. Kami akan memberikan
hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat beban unta.”
Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan berkata, “Aku
menjamin janji ini.” (72)
Hadits Rasulullah SAW :
العارية
مؤداة والزعيم غارم
Pinjaman hendaklah dikembalikan dan
orang yang menjamin hendaklah membayar.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmizi).
Rukun Daman
a. Yang menanggung
diisyaratkan sudah balig
b. Yang berpiutang diketahui oleh yang menanggung
c. Yang berutang
d. Utang barang diketahui
e. Lafal diisyaratkan berupa jaminan
b. Yang berpiutang diketahui oleh yang menanggung
c. Yang berutang
d. Utang barang diketahui
e. Lafal diisyaratkan berupa jaminan
Syarat Daman
a. Penanggung
harus mengenal orang yang ditanggung.
b. Jumlah utang yang ditanggung harus sudah resmi dan tetap.
c. Jumlah yang ditanggung sudah diketahui.
d. Penanggung harus orang yang ahli dalam penggunaan uang atau harta.
b. Jumlah utang yang ditanggung harus sudah resmi dan tetap.
c. Jumlah yang ditanggung sudah diketahui.
d. Penanggung harus orang yang ahli dalam penggunaan uang atau harta.
A.
Pengertian Al-Kafalah
Al-kafalah
berasal dari kata كفل ــُـ (menanggung)
merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian
lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Pada dasarnya
akad kafalah merupakan bentuk pertanggungan yang biasa dijalankan oleh
perusahaan.
B.
Landasan Syari'ah
Dasar hukum untuk akad kafalah ini
dapat dilihat di dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan kesepakatan para ulama, sebagai
berikut
1.
Al-QUR’AN
Allah SWT. berfirman:
"Penyeru-penyeru itu berkata "Kami kehilangan piala raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya."( surat Yusuf (12): 72)
2.
AS-SUNNAH
Jabir r.a. menceritakan: “Seorang
laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah memandikannya dengan bersih
kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah SAW. Kami bertanya
kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?". Rasulullah
bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjuwab: "Ya, dua
dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah :
"Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW.
bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi
hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu
menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah
tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah
SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).
Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang
itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus membayarnya."
(H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibnu Hibban).
C.
IJMA’ ULAMA
Para ulama madzhab membolehkan akad
kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan
sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun. Kebolehan akad
kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk
menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang .
a.
Rukun Dan Syarat Kafalah
Adapun
rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih
terdiri atas:
1. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal
sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela
(ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.|
3. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya,
dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang
(ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh
pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya,
tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).
b.
Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung
Mengenai siapa orang-orang yang dapat
ditanggung, para ulama fikih menyatakan, bahwa pada dasarnya setiap orang dapat
menerima jaminan/tanggungan tersebut. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai
orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta warisan. Menurut
pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh ditanggung. Alasannya
adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan
Nabi SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan
Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut
tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan
orang yang pailit[1].
Jumhur fuqaha' juga berpendapat tentang
bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang dipenjara atau orang yang
sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya.
c.
Obyek Tanggungan
Mengenai obyek tanggungan, menurut
sebagian besar ulama fikih, adalah harta. Hal ini didasarkan kepada Hadis Nabi
SAW: “Penanggung itu menanggung kerugian.” Sehubungan dengan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini dikategorikan
menjadi tiga hal, sebagai berikut:
1. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi
tanggungan orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa
hendaknya, nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi
tanggungan/jaminan dan bahwa barangnya diketahui, karena apabila tidak
diketahui, maka dikhawatirkan akan terjadi gharar.
2. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang
berada di tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti 'ariyah
(pinjaman) atau wadi 'ah (titipan), maka kafalah tidak sah.
3. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual
kepada pembeli karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang
dijual- belikan.
D.
Macam-macam Kafalah[2]
1.
Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan
jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2.
Kafalah bi an-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank
dapat bertindak sebagai Juridical Personality yang dapat memberikan
jaminan untuk tujuan tertentu.
3.
Kafalah bi at-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian
barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini
dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama
dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa
deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee
kepada nasabah tersebut.
4.
Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan
untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini
dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi).
5.
Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah
al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan
tertentu pula.
E.
Upah Atas Jasa Kafalah
Adiwarman A. Karim memberikan
keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yang ia kemukakan dengan
mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si penjamin mengambil upah atas
jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti
Mustafa Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpandangan
bahwa pemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu
masalah kepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang sogok (riswah), tetapi
dianggap sebagai upah (ju'alah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya
perjalanannya. Ulama lain, Abdu al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang
penanggung/penjamin haruslah mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya
sebagai penjamin. Pendapat ini membuka peluang dimasukkannya pertimbangan
besarnya risiko yang dipikul oleh si penjamin dalam memperhitungkan upahnya[3].
F.
Akibat-akibat Hukum Kafalah
Apabila orang yang ditanggung tidak ada
(pergi atau menghilang), maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia
tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi hutang yang
menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan, bahwa orang
memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bank- menyatakan bebas untuk kafil,
atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena
memang itu haknya.
Adapun
yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari
pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu. Dalam hal orang yang
ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si
penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya,
maka ia wajib mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup
untuk keperluan tersebut.
G.
Penerapan Kafalah Dalam Perbankan Syariah
Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah
(bank garansi) adalah jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk
memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak
memenuhi kewajibannya.
BG
merupakan fasilitas non dana ( Non Funded Facility ) yang diberikan Bank
berdasarkan akad Kafalah bil Ujrah. Bank akan menerbitkan BG sejumlah nilai
tertentu yang dipersyaratkan oleh pihak penerima jaminan yang merupakan
klien/mitra bisnis/ counter part dari Nasabah Bank untuk kepentingan
transaksi / proyek tertentu yang akan dijalankan oleh Nasabah Bank.
Penggunaan
dan macam Bank Garansi
-
Diberikan kepada pemborong atau kontraktor untuk mengerjakan proyek
-
Diberikan untuk menjamin pembayaran (dapat berupa Standby L/C )
Sedangkan
Bank Garansi yang umum digunakan dalam rangka proyek, untuk mendukung
usaha konstruksi, adalah:
- Bid Bond / Tender Bond atau jaminan saat mengikuti tender
- Advance Payment Bond atau jaminan uang muka
- Performance Bond atau jaminan pelaksanaan selama masa konstruksi
- Retention Bond atau jaminan pemeliharaan pasca konstruksi
Bank
dalam pemberian garansi ini, biasanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu
(sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. Di samping
itu, bank memungut biaya sebagai ju'alah dan biaya administrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar